First

Potongan Tak Berarti


 Secuil apa? Selembar apa? Potongan sampah tak berguna mampu membuat negeri ini berubah. Tidak ada yang mau datang atau sekedar melihat apa yang menjadi belenggu masyarakat bulukan seperti ini. Hanya kami, ya hanya kami yang peduli terhadap daerah ini. Kalau bukan kami siapa lagi? Mereka yang merusak, kami yang harus menyemennya. Lestari merupakan salah satu penjual di pasar yang peduli terhadap keadaan lingkungannya, tetapi apa yang terjadi hujatan dan cibiran menerjangnya.
Setiap pagi sebelum subuh ia mulai membuka lapaknya. “Ayo dipilih-dipilih sayurnya Pak, Bu. Harga boleh rupiah tapi kualitas ringgit punya”. Begitu ia menawarkan dagangannya. Dari arah kejauhan tampak seorang lelaki kaya yang menenteng tas, orang-orang biasa memanggilnya Pak Luyo. Mendengar suara Lestari tiba-tiba Pak Luyo mampir ke lapaknya. “Saya dengar Anda tadi bicara “Ringgit”? Memangnya Anda tahu ringgit itu berapa rupiah? Barang bermerk Pasar saja ngakunya sok berkualitas”. Ucap Pak Luyo. “Anda ini kaya tapi mulutnya tidak tahu aturan. Awas saja kalau sampai Anda berani membeli sayur dagangan saya, akan saya beri racun”. Kata Lestari lirih.
“lho…lho… Nyah Tari kok sudah pulang? Dagangan sudah habis pula, mbok ya saya ini dipinjami uang to, Nyah. Saya lagi kemarau duwit”. Sindir tetangga lapak lestari yang bernama Juminten. “Nyah Minten ini bisa saja, sama saja saya juga lagi kemarau duwit. Kebetulan saja hari ini dagangan saya cepat habis”. Balas lestari. Perbincangan mereka semakin memuncak sampai membuat udara panas, suasana panas dan…. “Ini pasar apa tempat orang meradang? Saya jadi khawatir jangan-jangan sayuran di sini tercampur dengan racun dari mulut-mulut kalian ini”. Tiba-tiba Pak Luyo membuat kaget mereka berdua. “Jaga bicara Anda ya, Pak! Walaupun saya dengan wajah bulukan seperti ini tapi, bukan berarti memengaruhi kualitas barang dagangan saya”. Ucap Lestari dengan ekspresi marah.
Suasana panas ini akan ditambah lagi dengan masalah yang membuat nyala api semakin membara disiang hari. Ika pulang dari sekolah sambil menangis, “Mak…Mak… Ika…Ika dilarang untuk sekolah karena SPP Ika nunggak tiga bulan dan Ika malu, Mak. Teman-teman Ika di sekolah bilang kalau Emak suka keluyuran tengah malam”. “Siapa? Siapa yang berani melabelkan barang dagangan Emak dengan melarangmu sekolah?”. Teriak lestari.
 Ketika tengah malam Lestari selalu pergi ke pasar sambil mengendap. Selalu seperti itu tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan setiap malam. Banyak orang mengira ia keluyuran tengah malam dengan seorang lelaki yang rumahnya ujung Desa. Lestari menerima hujatan semua orang, iya percaya bahwa uang yang didapat itu adalah uang halal dari hasil keringatnya bukan dari seorang wanita jalang. Selembar yang tak berarti adalah sumber rezeki yang lain. Ia adalah seorang janda dan harus menyekolahkan anak semata wayangnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esok

SUNYI

Karya Pertama-Tantangan 41 Hari Menulis