Karya Pertama-Tantangan 41 Hari Menulis

Taufik Ismail: Sastrawan Lugas Pemilik Sajak Pedas
Oleh Pepinesthi
       Seorang sastrawan Indonesia berwajah lembut, namun tegas dan kritis. Sajak-sajak yang dibuat ditujukan untuk generasi penerus bangsa agar tidak menjadi seorang pengecut. Pria kelahiran Bukit Tinggi, 25 Juni 1935 ini bernama Taufik Ismail. Lahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai wartawan dan ibunya seorang guru. Taufik Ismail dididik di antara orang-orang melek pendidikan, bukan suatu hal yang mengejudkan ketika Sang Sastrawan ini mendapat beasiswa Amerika Field Service International School (1956-1957).  Masa kecil Taufik Ismail dihabiskan di Pekalongan sampai lulus Sekolah Dasar. Setelah lulus Beliau kembali lagi ke Bukit Tinggi. Kondisi politik pada saat itu membuat keluarga kecil Taufik hidup nomaden. Ketika di Bukit Tinggi terjadi suatu permasalahan terkait dengan pengasingan Mohammad Hatta, mereka pindah ke daerah Bogor dan menganyam pendidikan SMA di sana. Tidak berakhir sampai di situ Beliau melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi IPB (saat ini), hingga akhirnya mendapat tawaran beasiswa ke Amerika.
    Kecerdasan yang sangat luar biasa dimiliki oleh tokoh mungil dengan gaya tak begitu mengesankan ini. Kehidupan keras, pergolakan politik memperlihatkan kekejaman atas kekuasaan membentuk pribadi Taufik Ismail yang saat ini kita kenal. Sosok yang keras, disiplin, kritis, dan memandang integritas adalah modal utama dalam menjalan pemerintahan. Rasa kepeduliannya terhadap bangsa ini dilantunkan dalam sebuah sajak yang dibaca di Negeri Jiran tentang Indonesia bukan negeri pengekor. Pemikirannya begitu radikal tentang kondisi pemerintahan Indonesia. Pertama kali Taufik Ismail memulai karirnya dalam ranah politik adalah ketika tergabung dalam Kolumnis Harian KAMI (1966-1970). Tempat pertama yang dijadikan wadah Taufuk Ismail untuk menyalurkan ide atau gagasan. Kemudian bersama-sama dengan Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia. Produk pertama yang dikeluarkan dalam Yayasan Indonesia itu adalah Sastra Horison pada tahun 1966 mengisahkan tentang kondisi pemerintahan Indonesia saat itu. Selain itu sastrawan Indonesia ini, berhasil ikut serta dalam Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), Lembaga Penddikan Kesenian Jakarta (LPKJ), dan masih banyak lagi karir yang menggelutinya.
    Karyanya memang tidak banyak bermajas layaknya penyair yang lain. Kata-kata yang khas, sederhana, namun tajam dan penuh kritik pedas. Melalui tulisannya itu Beliau menyampaikan keluhan, kebanggaan, dan kegeraman pada tanah air ini. Beberapa karya yang pernah Beliau tulis adalah Tirani, Benteng, Buku tamu Musium Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-Puisi Langit, Tirani dan Benteng, Prahara Budaya, dan penulis Horison Sastra Indonesia, dan masih banyak karya-karya terbarunya termasuk puisi yang dibacakan dan menyentak para anggota PKI. Persitiwa tersebut banyak mendapat tanggapan pro dan kontra, namun hal itu hanyalah catatan seorang seniman tentang sebuah hegemoni yang terjadi. Kebanyakan tulisan Taufik Ismail memang mempunyai kritik pedas terhadap pemerintah dan rakyat untuk negeri ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa Taufik Ismail hadir pada masa Negeri sedang dalam candu dan pilu.
         Sastrawan berusia 82 tahun ini banyak dikagumi oleh banyak khlayak mulai dari dalam Negeri dan luar Negeri. Penghargaan yang pernah diraihnya adalah Anugerah seni dari Pemerintah RI (1970), Cultural Visit Award dan Pemerintah Australia (1977), South East Asia (SEA) Write Award dan Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994), Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999), dan Doctor honoris causa dan Universitas Negeri Yogyakarta (2003), dan masih banyak penghargaan terbaru yang diraihnya. Dengan begitu banyak penghargaan yang disandangnya, tidak menjadikan Taufik Ismail seseorang yang rakus dan haus akan kekuasaan. Meskipun banyak tawaran untuk masuk dalam ranah pemerintahan, Beliau memilih untuk mengklaim dirinya sebagai seorang sastrawan dan seniman kata.
Selang waktu begelut dengan ribuan kata, akhirnya Sang Sastrawan memutuskan untuk menabtakan hatinya pada seorang wanita bernama Esiyati tahun 1971. Beberapa tahun kemudian, Tuhan menitipkan seorang putra bernama Bram Ismail. Bersama keluarga kecilnya, Beliau inggal di Jalan Rutan Kayu Raya 66-E, Jakarta. Dalam keluarga kecilnya itu Beliau tetap menjejalkan karya-karyanya ke dapan publik. Sampai usia sudah senja Beliau enggan untuk menenggelamkan tulisan-tulisannya. Liku kehidupan membuat Taufik Ismal sampai saat ini masih terkenal sebagai sastrawan Indonesia yang karyanya dapat dinikmati oleh khalayak ramai tanah air.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esok

SUNYI