Karya kedua-Tantangan 41 Hari Menulis

Sepucuk Surat untuk Pramoedya Ananta Mastoer

Kisah Dibalik Jeruji: Sebuah Pena Pemberontak

Oleh Pepinesthi

Sejarah telah mencatatat Sang Maestro kata menjadi sastrawan yang sangat produktif. Pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 06 Februari 1925 ini, melukiskan kata dengan sastra-sastra kolot berupa karya fiksi. Lebih dari 50 karyanya diterjemahkan dalam 41 Bahasa Asing. Pramoedya Ananta Toer, begitu banyak orang menyeru namanya saat ini. Beliau lahir sebagai anak sulung dari soerang Ayah yang berprofesi sebagai guru dan Ibu sebagai pedagang nasi. Pemilik nama asli Pramoedya Ananta Mastoer ini, menghilangkan sepenggal kata “Mas” dalam namanya yang dirasa terlalu aristokratik. Pram menempuh pendidikan pada sekolah kejuruan Radio di Surabaya. Karena sebagai anak sulung, membantu biaya sekolah adik-adiknya adalah suatu keharusan dan tanggungjawab. Guna menopang biaya kehidupan keluarga, Beliau bekerja sebagai juru ketik di salah satu surat kabar di Jakarta milik pemerintah Jepang kala itu.
Ketika Indonesia pada masa kritis, Pramoedya Ananta Toer ikut andil memperjuangkannya dengan mengikuti pelatihan militer di Jawa. Secara kebetulan Pram selalu ditempatkan di Jakarta, jadi Beliau menyaksikan langsung politik pemerintahan yang terjadi di jantungnya Indonesia tersebut. Kekejaman para penjajah selalu menarik hati Pram, hal yang bisa dilakukan hanyalah memberontak. Itupun, Beliau harus berakhir di dalam penjara Belanda. Karena pengasingannya di Belanda, Pram menjadi salah satu delegasi dari Indonesia dalam rangka pertukaran budaya. Kemudian selang beberapa tahun Beliau bergabung dengan dengan LEKRA yang merupakan salah satu sayap kiri Indonesia, karena pada saat itu orang-orang golongan kiri mewadahi dan mendukung hasil karya Pram dengan apresiasi sebuah penghargaan. Namun, anggapan tersebut tidak berlaku untuk semua kalangan. Kondisi politik yang masih memanas kala itu membuat banyak segala sesuatu dinggap vital. Melalui beberapa pergolakan politik yang dilalui Pram membuatnya mengubah gaya tulisannya. Dulu merupakan naskah fiksi kolot, sekarang menjadi naskah fiksi penuh kritik untuk pemerintah Indonesia saat itu dan kekejaman politik yang merusak keadilan. Beliau sering mengangkat tulisan mengenai penyiksaan orang Tionghoa di Inonesia pada masa orde baru. Pram lebih banyak berkolaborasi dengan penulis-penulis Tionghoa dalam menerbitkan tulisan-tulisannya. 
Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu kritikus yang takacuh pada pemerintahan Jawa-sentris mengenai kepentingan dan keinginan di Indonesia. Masa pemerintahan Soeharto, Pramoedya Ananta Toer mejalani tahanan di Nusakambangan karena dianggap pro dengan orang komunis. Menurut Mochtar Lubis anggapan tersebut salah, karena meskipun Pramoedya bergabung dengan LEKRA nyatanya Beliau pada pihak netral dan tidak ada sangkut paut dengan komunis. Hanya saja kala itu yang mendukung karya-karyanya adalah orang kiri. Masa Indonesia sedang dalam proses mencari jati diri, banyak seniman yang dibatasi dalam berkarya dan pemerintah selalu mengeluarkan hukuman berupa tahanan rumah atau tahanan kota bagi pelanggar. Perbaikan yang dilakukan oleh kaum revolusioner dianggap telah menyeleweng dari tujuan terbentuknya orde baru. Masa muda Pramoedya Ananta Toer dihabiskan oleh masa tahanan. Selama 3 tahun Beliau dalam tahanan kolonial, selama 1 tahun Beliau dalam belenggu masa orde baru, dan selama 14 tahun menjadi tahanan politk tanpa proses pengadilan. Ketika masa tahanan dijalani penuh liku dan umpatan kata, tak dapat cara lain selain menulikan sebuah kisah tentang kisah hidupnya dan mereka. Pulau Buru menjadi tempat pengasingan berharga, seluruh tulisan tertata rapi. Beberapa bagian tulisannya diceritakan secara oral kepada teman tahanan dan sebagian berhasil diselundupkan di luar negeru, kemudian dikoleksi oleh orang Australia. Sekumpulan tulisan yang dibuat kemudian dirangkai layaknya sebuah novel yang diberi judul BUMI MANUSIA. 
Mulai tahun 1979 hingga 1992 dikenakan tahanan rumah, dan tahun 1999 resmi menjadi tahanan kota dan negara. Selama itu, buah dari pengalamananya dirangkau dalam novel-novel fiksi. Judul yang sangat terkenal kala itu, yaitu Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dan oto-biografi yang tak diizinkan berjudul “Arus Balik” (1995). Salah satu karyanya yang berjudul Nyanyian Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels dan di beri judul The Mute’s Soliloquy: A Mamoir. Pramoedya Ananta Toer mendapat penghargaan Ramon Ragsaysay Award 1995. Kemudian Beliau mendapat tudingan dari beberapa sastrawan Indonesia sebagai jubir sekaligus algojo LEKRA paling galak, menghantam, menggasak, membantai pada masa demokrasi terpimpin. Hal tersebut dibantah keras oleh Mochtar Lubis. Mulai sejak itu tersulut beberapa kontroversi.
Semenjak orde baru berkuasa, Pramoedya Ananta Toer tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri. Pram banyak menulis mengenai kritikan tentang pemerintahan Indonesia kala itu hingga menjelang senja. Buku-bukunya tidak hanya mululu pada pemerintah Indonesia, Beliau juga sempat tergelitik melihat fenomena penyiksaan Jepang kepada para wanita yang ditulis dalam sebuah karya berjudul, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer. Buku tersebut menceritakan tentang wanita Jawa yang di paksa menjadi wanita penghibur masa penjajahan Jepang, termasuk dengan kekuasaan seksual. Begitu mirisnya nasib bangsa Indonesia kala itu. Seorang Pramoedya Ananta Toer, pemuda pengamat berjuang dalam selembar kertas dan seuntai pena. Banyak sekali penghargaan yang diberikan setelah pemerintahan Soeharto runtuh. Sebagai hadiah dan kado ulang tahun untuk Sang Maestro, para penggemarnya menggelar pameran Buku dan angkatan muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan. Pada tanggal 30 April 2006 meninggal dunia karena sakit radang paru-paru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esok

SUNYI

Karya Pertama-Tantangan 41 Hari Menulis