Hari Ketiga-Tantangan 41 Hari Menulis

Soe Hok Djin: Politik Bergeming Mahasiswa Angkat Bicara
Oleh Pepinesthi

Arief Budiman begitu pria kelahiran Jakarta, 3 Januari 1941 berganti nama setelah menjadi seorang mualaf. Pemilik nama asli Soe Hok Djin ini adalah seorang aktivis angkatan ’66 yang sangat kritis menanggapi masa orde baru. Beliau adalah saudara laki-laki dari Soe Hok Gie yang sama-sama aktif mengkritisi politik di Indonesia ketika masih menjadi mahasiswa aktif Universitas Indonesia. Menurutnya menjadi seorang mahasiswa harus bisa menyuarakan suara rakyat. Beberapa kritikan tentang praktik demokrasi pada tahun 1992. Seperti yang dikutip dalam buku Adam Schwarz, A Nation in Writing (1994) bahwa, demokrasi pertama disebut sebagai demokrasi pinjaman sehingga siapapun tidak bisa memberi/menerima kritik. Pada dasarnya demokrasi adalah orang-orang dapat mengekspresikan pendapat mereka dengan bebas. Namun, saat ini negara berpikir bahwa kritik akan pergi jauh dan demokrasi pinjaman itu akan kembali berkuasa. Rakyat sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menolak. Demokrasi yang kedua adalah demokrasi terbatas. Demokrasi ini hadir ketika konflik antar elit negara terjadi, orang bisa mengkritik dengan mengunakan kekuatan faksi yang ada. Setelah konflik tersebut mereda ruang demokrasi tersebut hanyalah omong kosong yang akan lenyap begitu saja. Soe Hok Djin beserta kawan-kawan akivis lainnya memberikan kritik mengenai politik pemerintahan masa Soeharto yang membumi hanguskan oposisi serta meningkatnya praktik-praktik korupsi di kalangan elit.
Soe Hok Djin mempunyai seorang ayah bernama Soe Lie Piet yang bekerja sebagai wartawan. Soe Hok Djin memegang almamater di Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia pada tahun 1968, kemudian melanjutkan kuliah di Paris untuk menyandang gelar Ph.D bidang Sosiologi di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Meskipun sedang menempuh pendidikan di luar negeri, tidak ada hentinya Beliau menyuarakan suara rakyat untuk Indonesia melalui beberapa majalah yang pernah di ketuainya. Setelah pulang ke tanah air, Beliau mendapat tawaran untuk menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana. Karena dirasa struktur pemerintahan Universitas yang buruk, Soe Hok Djin melakukan sebuah penolakan sampai akhirnya di pecat. Setelah di pecat S.H Djin tidak pantang menyerah, akhirnya Beliau mendapat tawaran untuk menjadi profesor di Universitas Melbourne, Australia. Beliau pernah membangun keluarga kecilnya bersama dengan Leila Chairani Budiman di Australia.
Masa muda Soe Hok Djin tidak akan dihabiskan hanya dengan menikmati sesuatu yang ada. Lahir dari keluarga Tionghoa kala itu bukan suatu hal yang mudah. Berawal dari hujatan dan cacian teman-temannya, Soe Hok Djin berpikir untuk membuat perubahan. Perbuahan pada dirinya, lingkungan bahkan negara. Beliau memang sangat kritis dan sangat vocal dalam beberapa aksi demonstran. Selain, giat dalam aksi turun ke jalan, Beliau juga pernah menjadi direktur dari majalah Horison (1966-1972), Dewan Penasehat majalah, Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), anggota Badan Sensor Film (1968-1971). Soe Hok Djin ikut serta dalam menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963. Hal tersebut ditujukan untuk menentang aktvitas LEKRA yang dianggap mengurung kreativitas kaum seniman. Aksi yang dilakukan Soe Hok Djin bersama rekan aktivis lainnya adalah mencetuskan Golput (Golongan Putih) untuk menyaingi Golkar (Golongan Karya) yang dianggap membelokkan cita-cita orde baru untuk menciptakan pemerintahan demokratis. Sempat beberapa bulan Soe Hok Djin mengalami masa tahanan akibat ikut serta menjadi demonstran menentang pendirian Taman Miniatur Indonesia Indah (TMII).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esok

SUNYI

Karya Pertama-Tantangan 41 Hari Menulis